Slide Title 1

Aenean quis facilisis massa. Cras justo odio, scelerisque nec dignissim quis, cursus a odio. Duis ut dui vel purus aliquet tristique.

Slide Title 2

Morbi quis tellus eu turpis lacinia pharetra non eget lectus. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Donec.

Slide Title 3

In ornare lacus sit amet est aliquet ac tincidunt tellus semper. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Pages

Senin, 07 Januari 2013

Bab 2: Model kooperatif tipe jigsaw, pendekatan kontruktivisme, hasil belajar dan bahan ajar



BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Model Pembelajaran Kooperatif  Tipe Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :
1.      Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
2.      Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
3.      Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
4.      Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
5.      Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
6.       Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.
2.       Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
3.       Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4.       Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
5.      Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1.      Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
2.       Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.
3.      Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4.       Meningkatkan sarana
5.       pendukung pembelajaran terutama buku sumber. Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.


B. Pendekatan Kontruktivisme
Pendekatan konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran pelajar. Pengetahuan dikembangkan secara aktif oleh pelajar itu sendiri dan tidak diterima secara pasif dari orang disekitarnya. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran merupakan hasil dari usaha pelajar itu sendiri dan bukan hanya ditransfer dari guru kepada pelajar. Hal tersebut berarti siswa tidak lagi berpegang pada konsep pengajaran dan pembelajaran yang  lama, dimana guru hanya menuangkan atau mentransfer ilmu kepada siswa tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari siswa itu sendiri.
Menurut pandangan ahli konstruktivisme, setiap siswa mempunyai  peranan dalam menentukan apa yang dipelajari. Penekanan diberi kepada siswa agar dapat membentuk kemahiran dan pengetahuan yaitu dengan mengaitkan pengalaman yang terdahulu dengan kegunaannya di masa depan. Siswa tidak hanya diberikan penekanan terhadap fakta atau konsep tetapi juga diberikan penekanan terhadap proses berpikir serta kemahiran berkomunikasi.
Di dalam kelas konstruktivis, para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang berada dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan lainnya, berpikir secara kritis tentang cara terbaik menyelesaikan setiap masalah. Dalam kelas konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anaknya bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong (encourage) siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Pada saat siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal siswa (dalam Suherman, 2003)
Merrill mengemukakan asumsi-asumsi konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1.      Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman;
2.        Pembelajaran adalah sebuah interpretasi personal terhadap dunia;
3.       Pembelajaran adalah sebuah proses aktif yang di dalamnya makna dikembangkan atas dasar pengalaman;
4.      Pertumbuhan konseptual datang dari negosiasi makna, pembagian perspektif ganda, dan perubahan bagi representasi internal kita melalui pembelajaran kolaboratif;
5.      Pembelajaran harus disituasikan dalam seting yang realistis; pengujian harus diintegrasikan dengan tugas dan bukan sebuah aktivitas yang terpisah
Steffe dan Kieren (1995) mengungkapkan beberapa prinsip pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme diantaranya bahwa observasi dan mendengar aktivitas serta pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar, untuk kurikulum, dan untuk cara-cara dimana pertumbuhan pengetahuan siswa dapat dievaluasi (dalam situs
Dalam konstruktivisme proses pembelajaran senantiasa “problem centered approach  dimana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang mempunyai makna matematika. Ciri-ciri tersebutlah yang akan mendasari pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme. (dalam Suherman, 2003)
 Pembelajaran Konstruktvisme dalam Matematika
Dalam pembelajaran guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. Guru hanya membantu agar informasi menjadi lebih bermakna dan relevan bagi siswa dengan menunjukkan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan strategi-strategi yang dimilikinya untuk belajar. Berdasarkan hasil-hasil penelitian Piaget (dalam Hermayani, 2008) berkesimpulan bahwa pengetahuan dibangun dalam diri anak. Piaget juga mengatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sebagai upaya keras pebelajar untuk mengorganisasikan pengalamannya dengan skema-skema atau struktur kognitif yang telah ada sebelumnya pada anak itu sendiri. Lebih lanjut teori konstruktivisme memandang siswa secara terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan menelusuri aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi.
Beberapa ahli konstruktivis telah menguraikan indikator belajar mengajar berdasarkan konstruktivisme. Confrey (dalam Suherman, 2003) menyatakan bahwa :
…… sebagai seorang konstruktivis ketika saya mengajarkan matematika, saya tidak mengajarkan siswa tentang struktur matematika yang objeknya ada didunia ini. Saya mengajar mereka, bagaimana mengembangkan kognisi mereka, bagaimana melihat dunia melalui sekumpulan lensa kuantitatif  yang saya percaya akan menyediakan suatu cara yang powerfull  untuk memahami dunia, bagaimana merefleksikan lensa-lensa itu untuk menciptakan lensa-lensa yang lebih kuat, dan bagaimana mengapresiasi peranan dari lensa dalam memainkan pengembangan kultur mereka. Saya mencoba untuk mengajarkan mereka untuk mengembangkan suatu alat intelektual yaitu matematika. Hal ini tersebut di atas mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk berfikir. Dimana fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berpikir mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya.
Suparno menyatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan bercirikan antara lain sebagai berikut:
1.      Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi dalam hal ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2.      Konstruksi pengetahuan adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3.      Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan memuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4.      Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsag pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar. 
Ciri-ciri tersebut memberikan acuan bahwa dalam pembelajaran matematika setiap siswa harus mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan mempunyai cara sendiri untuk mengerti serta mengetahui kekhasan dalam dirinya termasuk keunggulan dan kelemahannya dalam memahami sesuatu. Ini berarti siswa aktif berpikir, merumuskan konsep, dan mengambil makna. Peran guru disini adalah membantu agar proses konstruksi itu berjalan agar siswa membentuk pengetahuannya. Lebih lanjut Piaget (dalam Ratumannan, 2002) menegaskan bahwa pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skemata atau struktur kognitif. Dengan skemata atau struktur kognitif ini seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah penyusunan kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat, Reseffendy (dalam Ratumanan, 2002)
Menurut Davis (dalam Hermayani, 2008) pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika berorientasi kepada:
1.      Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
2.      Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah pebelajar dihadapkan kepada “apa”.
3.       Informasi baru dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan dan menginteprestasikan pengalamannya
4.      Pusat pembelajaran adalah bagaimana pebelajar berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis. Sehinnga proses konstruksi pengetahuan terjadi di dalam benak siswa sendiri melalui proses internalisasi.
Dengan kalimat lain, apabila suatu informasi (pengetahuan) baru diperkenalkan kepada siswa dan pengetahuan tersebut sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya, maka pengetahuan itu akan beradaptasi melalui proses asimilasi dan terbentuklah pengetahuan baru. Sedangkan apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu tidak sesuai dengan struktur kognitif siswa maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium), kemudian struktur kognitif tersebut direstrukturisasi kembali akan dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi keseimbangan (equilibrium) (dalam Ratumanan, 2002)
Berdasarkan pengertian diatas, maka menurut pendekatan konstruktivisme dapat diartikan bahwa belajar adalah proses pembentukan makna secara aktif oleh siswa sendiri terhadap masukan sensori baru yang didasarkan atas struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya. 
C. Hasil Belajar
Hasil Belajar Siswa - Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Beajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara keduannya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreatifitas seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar.
Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan dari pengajar (guru),  seperti yang dikemukakan oleh Sudjana.
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004 : 22). Sedangkan menurut Horwart Kingsley dalam bukunya Sudjana membagi tiga macam hasil belajar mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita (Sudjana, 2004 : 22).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan keterampilan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa (Sudjana, 1989 : 39). Dari pendapat ini faktor yang dimaksud adalah faktor dalam diri siswa perubahan kemampuan yang dimilikinya seperti yang dikemukakan oleh Clark (1981 : 21) menyatakan bahwa hasil belajar siswa disekolah 70 % dipengaruhi oleh  kemampuan siswa dan 30 % dipengaruhi oleh lingkungan. Demikian juga faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan yang paling dominan berupa kualitas pembelajaran (Sudjana, 2002 : 39).
"Belajar  adalah suatu perubahan perilaku, akibat interaksi dengan lingkungannya" (Ali Muhammad, 204 : 14). Perubahan perilaku dalam proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya apabila terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar tidak dikatakan berhasil.
Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik di bidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik).
Dari beberapa pendapat di atas, maka hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor dari dalam individu siswa berupa kemampuan personal (internal) dan faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan. Dengan demikian hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau fikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupa sehingga nampak pada diri indivdu penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif. Hasil belajar siswa
Hasil belajar matematika siswa merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika,
Sudjana (2003:3) menyatakan bahwa: ”Hasil belajar adalah perubahan tinkah laku yang timbul misalnya dari tidak tahu menjadi tahu”. Perubahan yang terjadi dalam proses belajar adalah berkat pengalamn atau praktek yang dilakukan dengan sengaja dan disadari atau dengan kata lain bukan karena kebetulan.tingkat pencapaian hasil belajar oleh siswa disebut hasil belajar.
Hasil belajar ini diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar siswa atau kemampuan siswa dalam suatu pokok bahasan guru biasanya mengadakan tes hasil belajar.Hasil belajar dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh siwa setelah mengikuti suatu tes hasil belajar yang diadakan setelah selesai program pengajaran.
Jadi hasil belajar itu adalah hasil yang dicapai siswa sebagai bukti keberhasilan proses belajar mengajar yang dialami siswa dalam pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai.
Dengan demikian hasil belajar matematika adalah hasil yang dicapai siswa sebagai bukti keberhasilan proses belajar mengajar dalam bidang pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai.
Menurut Bloom ada enam tipe hasil belajar, yaitu:
1.      Knowledge (Pengetahuan)
Cakupan dalam pengetahuan hapalan adalah pengetahuan yang bersifat perlu diingat kembali dan pengetahuan yang sifatnya faktual. Cara siswa belajar untuk mendapatkan hasil yang memuaskan ini perlu melakukan penghapalan, pengingatan dan penguasaan yang baik.
Tipe belajar ini merupakan tingkat rendah, namun hasil belajar ini penting sebagai prasyarat untuk menguasai dan mempelajari hasil belajar lainnya.
2.      Comprehension (Pemahaman)
       Pemahaman merupakan kemamampuan memahami makna, arti siatu konsep. Pemahaman ini ada tiga macam, yaitu: a) pemahaman terjemah, yaitu kesanggupan memahami makna, b) pemahaman penafsiran, contohnya memahami grafik atau tabel, c) pemahaman ekstrapolasi, memahami sesuatu hal yang tertulis, seperti memahami suatu teorema.
3.      Application (Penerapan)
       Kemampuan dalam menggunakan suatu konsep yang telah dipelajari dalam suatu permasalahan, seperti penggunaan rumus, teorema atau dalil.
4.      Analysis (analisis )
       Yaitu kemampuan untuk menguraikan suatu kesatuan yang utuh menjadi unsur-unsur yang mempunyai arti, seperti pembuktian suatu teorema. Analisi ini merupakan kemampuan tingkat tinggi, lebih kompleks.
5.      Syntesis (sintesis )
       Syntesis merupakan kebalikan dari analisis, tingkatannya lebih tinggi lagi, merupakan kemampuan menentukan suatu unsur-unsur sebagai suatu kesatuan.
6.      Evaluation (evaluasi )
       Evaluation merupakan kemampuan dalam memberikan keputusan berdasarkan kemampuan yang telah dimilikinya. Ini merupakan tipe hasil belajar yang paling tinggi dan memuat semua tipe hasil belajar yang telah dijelaskan. Kemampuan yang lebih ditekankan yaitu menilai benar atau salah, tepat tidaknya, baik tidaknya, dengan kriteria tertentu.
D. Bahan Ajar
Menurut Depdiknas definisi bahan ajar sebagai berikut:
1.    Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.
2.    Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. (National Center for Vocational Education Research Ltd/National Center for Competency Based Training).
3.    Bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. 
Sehingga dapat disimpulkan bahwa bahan ajar merupakan alat dalam segala bentuk bahan untuk membantu melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Adapun prinsip pengembangan bahan ajar yaitu:
1.    Mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak,
2.    Pengulangan akan memperkuat pemahaman
3.    Umpan balik positif akan memberikan penguatan terhadap pemahaman peserta didik
4.    Motivasi belajar yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar
5.    Mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan mencapai ketinggian tertentu.
6.    Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong peserta didik untuk terus mencapai tujuan



a.    Silabus
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan silabus:
1)      Membuat judul silabus yang berisi keterangan nama sekolah, mata pelajaran, kelas yang akan mempelajari materi tersebut
2)      Menetukan standar kompetensi,
3)      Buatlah tabel yang terdiri dari kompetensi dasar, materi yang akan dipelajari, kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran, indikator yang harus dicapai siswa, penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar.
4)      Pada penilaian dijelaskan pula teknik penilaian, bentuk instrumen dan disertai dengan contoh instrumen.
b.   Rencana Perencanaan Pembelajaran
Berdasarkan PP No 19 Tahun 2005 Pasal 20 perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya Tujuan pembelajaran, Materi pembelajaran,metode pengajaran,  sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah Rencana yang menggambarkan Prosedur  dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus. Lingkup Rencana Pembelajaran paling luas mencakup 1 (satu) kompetensi dasar yang terdiri atas1(satu) indikator atau beberapa indikator untuk 1 (satu) kali  pertemuan atau lebih. Komponen RPP minimal memuat tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metoda pembelajaran, sumber belajar, penilaian hasil belajar.

c.    Lembar Kerja Kelompok
Lembar Kerja Kelompok digunakan sebagai alat bantu pembelajaran siswa secara berkelompok dan sarana pendukung pelaksanaan Rencana Pembelajaran. Secara umum, lembar kerja kelompok hampir sama dengan LKS, namun yang membedakannya hanya soal yang diberikan membutuhkan kerja kelompok dengan siswa lain dalam pengerjaannya. Menurut Azizah (2007) kriteria pembuatan LKS yaitu LKS yang digunakan siswa harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dikerjakan siswa dengan baik dan dapat memotivasi belajar siswa.

d.      Instrumen tes
Menurut Suherman (1990;94). Instrumen tes atau biasa disebut alat evaluasi adalah alkat yang berfungsi sebagai alat seleksi, pengukur keberhasilan, penempatan dan diagnostik. Tes tertulis menurut tipenya dikelompokkan menjadi dua macam yaitu tes tipe objektif dan subjektif (uraian). Tes bentuk uraian memiliki beberapa kelebihan, yaitu:
1.    Pembuatan soal bentuk uraian relatif lebih mudah dan bisa dibuat dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama.
2.    Dalam menjawab soal bentuk uraian siswa dituntut untuk menjawabnya secara rinci, maka proses berpikir, ketelitian, sistematika penyusunan dapat dievaluasi. Terjadinya bias hasil evaluasi dapat dihindari karena tidak ada sistem tebakan atau untung-untungan. Hasil evaluasi lebih dapat mencerminkan kemampuan siswa sebenarnya.
3.    Proses pengerjaan tes akan menimbulkan kreativitas dan aktivitas positif siswa, karena tes tersebut menuntut siswa agar berpikir secara sistematik, menyampaikan pendapat dan argumentasi, mengaitkan fakta-fakta yang relevan.